Rabu, 26 November 2014

R U H



Seorang wali sufi besar, Ibrahim Hakki Erzurumi (1703-1780; Turki; Marifetname/ Kitab Pengetahuan, 1756), menuturkan bahwa ketika ruh diturunkan dari alam ruh untuk dilahirkan dalam tubuh manusia, ia diselimuti unsur-unsur dunia material. Pertama-tama, ruh diselubungi tanah, lalu air, dan tanah pun berubah menjadi lumpur. Udara mengeringkan lumpur itu dan kemudian api membakarnya. Setelah itu, ruh seakan-akan ditutupi pot tanah liat. Ruh tersembunyi dalam wadah lahiriah tubuh kita. Karenanya, tugas penting yang harus kita lakukan adalah menemukan ruh yang tersembunyi dalam diri kita.
Ruh dalam diri kita laksana udara dalam sebuah wadah. Ketika sebuah wadah dibuat, udara secara otomatis masuk ke dalamnya. Tidak ada seorang pun yang menaruhnya di situ. Akibatnya, terjadi pemilahan atmosfir antara udara di dalam dan udara di luar wadah. Keadaan ruh kita mirip seperti itu. Ketika janin manusia tumbuh dan berkembang, ia mengundang Ruh untuk menempatinya. Ruh kita tampak terpisah, tetapi kenyataannya ada persatuan yang mendasari keterpisahan yang tampak nyata itu.

Jika kita semprotkan parfum beraroma mawar ke dalam sebuah wadah, udara di dalamnya akan tercium wangi mawar. Jika kita taruh sesuatu yang busuk maka udara di dalamnya pun akan beraroma busuk. Dari kedua tindakan itu, oksigen yang menyangga kehidupan dalam udara tetaplah sama. Demikian pula keadaan ruh kita. Ia tidak berubah meskipun tindakan dan pengalaman hidup kita bisa saja membuat kepribadian kita menjadi “wangi” atau “busuk”. Ruh kita tidak dipengaruhi berbagai hal yang terjadi dalam hidup kita, sebagaimana oksigen dalam wadah yang tidak berubah oleh parfum atau bau busuk apa pun. Ruh kita murni dan sempurna, percikan ruh Tuhan yang tak terbatas. Al-Qur’an mengatakan,”Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh) nya ruh (ciptaan) -Nya…”(QS As-Sajdah [32]:9)
Karena ruh tersembunyi, kita tidak bisa melihat atau mengindra keindahan dan cahayanya. Maka, tugas kita adalah membiarkan cahaya ruh kita memancar melalui diri kita. Tatkala kita mendirikan shalat dan berdzikir, kedua ibadah itu bagaikan upaya mengebor “pot tanah liat” yang membungkus dan menutupi ruh kita.

Dalam tradisi sufi, ruh kita terletak dalam hati. Seorang sufi besar, al-Hakim al-Tirmidzi menulis bahwa ada 4 tingkatan hati. Tingkat pertama adalah dada, hati yang paling luar. Tingkatan ini merupakan perbatasan hati, tempat kita berinteraksi dengan dunia. Tingkat-tingkat berikutnya adalah hati yang laik, hati yang di dalam, dan hati yang paling dalam, hatinya hati.

Al-Tirmidzi menjelaskan tingkatan-tingkatan itu dengan menggunakan metafora rumah. Hati paling luar bagaikan tanah yang mengelilingi rumah. Orang-orang dan hewan-hewan dapat memasukinya dengan mudah meski tanah itu dikelilingi pagar. Tingkatan berikutnya adalah hati yang laik, yang dianalogikan dengan rumah itu sendiri. Hewan tidak bisa masuk dan seorang tamu harus minta izin lebih dulu untuk memasukinya. Keadaannya lebih aman dan lebih rahasia daripada hati paling luar. Lalu, tingkatan berikutnya, hati yang paling dalam, adalah ruang tempat penyimpanan harta, atau ruangan besi, yang terletak di pusat rumah. Barang-barang berharga milik keluarga disimpan di ruangan itu, termasuk barang pusaka yang tak ternilai. Pintu ruangan besi selalu terkunci. Hanya tuan dan puan pemilik rumah yang memiliki kuncinya. Hati yang paling dalam adalah ruang penyimpanan benda paling berharga di ruangan harta. Untuk memasuki ruangan harta, kita harus melewati gerbang hati yang paling luar, lalu memasuki pintu hati yang laik, dan kemudian membuka ruangan besi hati yang paling dalam.
Mursyid saya sering mengatakan bahwa hati yang paling dalam adalah kuil yang dibangun Tuhan sebagai persemayaman-Nya. Ruh kita adalah percik cahaya Ilahi yang keluasannya melebihi seluruh semesta. Percik agung dalam diri kita ini dapat menyalakan semesta dalam sekejap. Sebagai darwis, kita harus selalu ingat bahwa Tuhan telah menempatkan ruh Ilahi dalam hati setiap manusia. Jika kita ingat ini, kita akan memperlakukan semua orang dengan penuh rasa hormat dan sadar bahwa kita diberi kehormatan untuk melayani Tuhan dengan cara melayani orang lain.

Jika kita menggali sebuah sumur dan kemudian air terpancar, kita dapat mengubah gurun pasir yang kering kerontang menjadi oase yang hijau subur. Ketika ruh kita tersembunyi, hidup bagaikan gurun tandus: tanpa cinta dan kasih sayang. Yang muncul hanyalah cinta narsistik yang hanya mementingkan diri sendiri.

Sayangnya, menemukan air hanya sekali tidaklah cukup. Kita semua sudah terilhami (atau “diairi”) zikir, shalat, dan kehadiran mursyid. Namun, bantuan dan pertolongan awal ini perlahan-lahan akan lenyap jika kita tidak terus berupaya menyingkapkan ruh kita. Amal kebaikan dan laku tarekat yang istikamah dijalankan akan menjadikan hubungan kita dengan ruh tetap hidup dan membuatnya semakin kokoh, akrab, dan dalam. Namun, jika kita gagal menjaga kehidupan sehari-hari sesuai dengan hubungan itu, setiap tindakan yang tak acuh atau egois akan memutuskan hubungan yang telah kita ciptakan. Tindakan dan perilaku yang melukai orang lain akan mempertebal selubung yang menutupi ruh kita.

Psikolog terkenal Wilhelm Reich menulis bahwa kita melapisi diri kita sendiri untuk melindunginya dari dunia bagaikan kesatria yang mengenakan baju zirah untuk melindungi tubuhnya di medan perang. Tanpa disadari kita semua mengembangkan mekanisme pertahanan diri karena merasa kesepian dan rapuh. Ketika orang-orang mengkritik, mencela, atau merendahkan, kita merasa terluka, kemudian kita membela diri melawan serangan itu. Padahal, pembelaan diri semacam itu hanya akan menyebabkan kita lebih banyak mendapatkan luka.
Lebih lanjut Reich mengatakan bahwa kita mengenakan baju zirah yang begitu ketat sehingga menghambat pernapasan. Terhambatnya pernapasan mengurangi kemampuan kita untuk merasakan atau mengungkapkan perasaan. Pada gilirannya, berbagai kemampuan kita yang lainnya pun mengalami penurunan. Kita semakin tidak mampu mempersepsi semua perasaan. Pertahanan dan pembelaan diri yang berlebih-lebihan itu tidak hanya mengurangi kemampuan untuk mempersepsi rasa sakit, tetapi juga kemampuan untuk mempersepsi kegembiraan. Ketika ruh melapisi hati dengan baju besi pertahanan, kita kehilangan sentuhan dan hubungan dengan ruh kita.
Karenanya, melepaskan baju besi itu merupakan bagian penting perjalanan tasawuf. Dengan metafora lain, baju zirah kita itu laksana lapisan batu yang menutupi akuifer, danau bawah tanah yang besar yang dipenuhi jutaan galon air, yang murni. Air yang sangat berlimpah itu tidak dapat dimanfaatkan karena kita tidak dapat mengambilnya.
Kita semua memiliki air di kedalaman ruh yang memberi kita kehidupan. Kita harus mengebor lapisan penutupnya agar bisa mengambil air itu dan memanfaatkannya. Kita harus menyingkapkan semua lapisan baju besi yang menyelubungi ruh. Jika lapisan penutup telah tersingkap, ruh kita akan mengairi dan menyuburkan kehidupan kita. Kemudian air spiritual yang tak ternilai itu akan menghidupkan orang lain. Ia akan mengilhami orang lain untuk mencari air yang tersembunyi dalam diri mereka.

Ruh kita dapat menghidupkan kita dan semua yang kita cintai, tetapi menyingkapkan selubung ruh merupakan pekerjaan berat. Sudah berapa banyak waktu yang kita luangkan untuk pekerjaan ini? Saya khawatir, kita tidak meluangkan waktu sebanyak para atlet sekolah menengah yang melatih olahraga kegemaran mereka...to be continued

(* Dikutip dari : “Sufi Talks: Teachings of an American Sufi Sheikh“; 2012/ “Obrolan Sufi, Untuk Transformasi Hati, Jiwa, dan Ruh”; Syekh Ragip Frager (Robert Frager, Ph.D); 2013)