Selasa, 29 Januari 2013

::: Bukan Menantu Pilihan :::



::: Bukan Menantu Pilihan :::

25 tahun yang lalu,

Inikah nasib? Terlahir
sebagai menantu bukan pilihan. Tapi aku dan Kania
harus tetap menikah. Itu sebabnya kami ada di Kantor Catatan Sipil. Wali
kami pun wali hakim. Dalam tiga puluh menit, prosesi
pernikahan kami selesai. Tanpa sungkem dan tabur melati atau hidangan
istimewa dan salam sejahtera dari kerabat. Tapi aku masih sangat
bersyukur karena Lukman dan Naila mau hadir menjadi saksi.
Umurku sudah menginjak seperempat abad dan Kania di bawahku. Cita-cita
kami sederhana, ingin hidup bahagia.

22 tahun yang lalu,

Pekerjaanku tidak begitu elit, tapi cukup untuk biaya makan keluargaku.
Ya, keluargaku. Karena sekarang aku sudah punya momongan.
Seorang putri, kunamai ia Kamila.
Aku berharap ia bisa menjadi perempuan
sempurna, maksudku kaya akan budi baik hingga dia tampak sempurna.
Kulitnya masih merah, mungkin karena ia baru berumur seminggu. Sayang, dia
tak dijenguk kakek-neneknya dan aku merasa prihatin. Aku harus bisa
terima nasib kembali, orangtuaku dan orangtua Kania tak mau menerima kami. Ya
sudahlah. Aku tak berhak untuk memaksa dan aku tidak membenci mereka.
Aku hanya yakin, suatu saat nanti, mereka pasti akan berubah.

19 tahun yang lalu,

Kamila ku gesit dan lincah. Dia sekarang sedang senang berlari-lari,
melompat-lompat atau meloncat dari meja ke kursi lalu dari kursi ke lantai
kemudian berteriak "Horeee, Iya bisa terbang". Begitulah dia
memanggil namanya sendiri, Iya. Kembang senyumnya selalu merekah seperti mawar di
pot halaman rumah. Dan Kania tak jarang berteriak,"Iya sayaaang,"
jika sudah terdengar suara "Prang". Itu artinya, ada yang pecah, bisa vas
bunga, gelas, piring, atau meja kaca. Terakhir cermin rias ibunya yang
pecah. Waktu dia melompat dari tempat tidur ke lantai, boneka kayu yang
dipegangnya terpental. Dan dia cuma bilang "Kenapa semua kaca di rumah
ini selalu pecah, Ma?"

18 tahun yang lalu,

Hari ini Kamila ulang tahun. Aku sengaja pulang lebih awal dari
pekerjaanku agar bisa membeli hadiah dulu. Kemarin lalu dia merengek minta
dibelikan bola. Kania tak membelikannya karena tak mau anaknya jadi tomboy
apalagi ja di pemain bola seperti yang sering diucapkannya. "Nanti kalau
sudah besar, Iya mau jadi pemain bola!" tapi aku tidak suka dia menangis
terus minta bola, makanya kubelikan ia sebuah bola. Paling tidak aku bisa
punya lawan main setiap sabtu sore. Dan seperti yang sudah kuduga, dia
bersorak kegirangan waktu kutunjukkan bola itu. "Horee, Iya jadi pemain
bola."

17 Tahun yang lalu

Iya, Iya. Bapak kan sudah bilang jangan main bola di jalan. Mainnya di
rumah aja. Coba kalau ia nurut, Bapak kan tidak akan seperti ini. Aku
tidak tahu bagaimana Kania bisa tidak tahu Iya menyembunyikan bola di tas
sekolahnya. Yang aku tahu, hari itu hari sabtu dan aku
akan menjemputnyanya dari sekolah. Kulihat anakku sedang asyik menendang bola
sepanjang jalan pulang dari sekolah dan ia semakin ketengah jalan. Aku
berlari menghampirinya, rasa khawatirku mengalahkan kehati-hatianku dan
"Iyaaaa". Sebuah truk pasir telak menghantam tubuhku,
lindasan ban besarnya berhenti di atas dua kakiku. Waktu aku sadar, dua
kakiku sudah diamputasi. Ya Tuhan, bagaimana ini. Bayang-bayang yang
kelam menyelimuti pikiranku, tanpa kaki, bagaimana aku bekerja sementara
pekerjaanku mengantar barang dari perusahaan ke rumah konsumen. Kulihat
Kania menangis sedih, bibir cuma berkata "Coba kalau kamu tak belikan ia
bola!"

15 tahun yang lalu,

Perekonomianku morat marit setelah kecelakaan. Uang pesangon habis untuk
ke rumah sakit dan uang tabungan menguap jadi asap dapur. Kania mulai
banyak mengeluh dan Iya mulai banyak dibentak. Aku hanya bisa
membelainya. Dan bilang kalau Mamanya sedang sakit kepala makanya cepat
marah. Perabotan rumah yang bisa dijual sudah habis. Dan aku tak bisa
berkata apa-apa waktu Kania ia hendak mencari ke luar negeri. Dia ingin
penghasilan yang lebih besar untuk mencukupi kebutuhan Kamila. Diizinkan
atau tidak diizinkan dia a kan tetap pergi. Begitu katanya. Dan akhirnya
dia memang pergi ke Malaysia .

13 tahun yang lalu,

Setahun sejak kepergian Kania, keuangan rumahku sedikit membaik tapi itu
hanya setahun. Setelah itu tak terdengar kabar lagi. Aku harus
mempersiapkan uang untuk Kamila masuk SMP. Anakku memang pintar dia
loncat satu tahun di SD-nya. Dengan segala keprihatinan kupaksakan agar
Kamila bisa melanjutkan sekolah. aku bekerja serabutan, mengerjakan
pekerjaan yang bisa kukerjakan dengan dua tanganku. Aku miris, menghadapi
kenyataan. Menyaksikan anakku yang tumbuh remaja dan aku tahu dia ingin
menikmati dunianya. Tapi keadaanku mengurungnya dalam segala kekurangan.
Tapi aku harus kuat. Aku harus tabah untuk mengajari Kamila hidup tegar.

10 tahun yang lalu,

Aku sedih, semua tetangga sering mengejek kecacatanku. Dan Kamila hanya
sanggup berlari ke dalam rumah lalu sembunyi di dalam kamar. Dia sering
jadi bulan-bulanan hinaan teman sebayanya. Anakku cantik, seperti ibunya.
"Biar cantik kalo kere ya kelaut aje." Mungkin itu kata-kata yang
sering kudengar. Tapi anakku memang sabar dia tidak marah walau tak urung
menangis juga. "Sabar ya, Nak!" hiburku."Pak, Iya pake jilbab
aja ya, biar tidak diganggu!" pintanya padaku. Dan aku menangis. Anakku maafkan
bapakmu, hanya itu suara yang sanggup kupendam dalam hatiku. Sejak hari
itu, anakku tak pernah lepas dari kerudungnya. Dan aku bahagia. Anakku,
ternyata kamu sudah semakin dewasa. Dia selalu tersenyum padaku. Dia
tidak pernah menunjukkan kekecewaannya padaku karena sekolahnya hanya terlambat di bangku SMP.

7 tahun yang lalu,

Aku merenung seharian. Ingatanku tentang Kania, istriku, kembali menemui
pikiranku. Sudah bertahun-tahun tak kudengar kabarnya. Aku tak mungkin
bohong pada diriku sendiri, jika aku masih menyimpan rindu untuknya. Dan
itu pula yang mem buat aku takut. Semalam Kamila bilang dia ingin menjadi
TKI ke Malaysia. Sulit baginya mencari pekerjaan di sini yang cuma
lulusan SMP. Haruskah aku melepasnya karena alasan ekonomi. Dia bilang
aku sudah tua, tenagaku habis dan dia ingin agar aku beristirahat. Dia
berjanji akan rajin mengirimi aku uang dan menabung untuk modal. Setelah
itu dia akan pulang, menemaniku kembali dan membuka usaha kecil-kecilan.
Seperti waktu lalu, kali ini pun aku tak kuasa untuk menghalanginya. Aku
hanya berdoa agar Kamilaku baik-baik saja.

4 tahun lalu,

Kamila tak pernah telat mengirimi aku uang. Hampir tiga tahun dia di
sana. Dia bekerja sebagai seorang pelayan di rumah seorang nyonya. Tapi
Kamila tidak suka dengan laki-laki yang disebutnya datuk. Matanya tak
pernah siratkan sinar baik. Dia juga dikenal suka perempuan. Dan nyonya
itu adalah istri mudanya yang keempat. Dia bilang dia sudah ingin pulang.
Karena akhir-akhir ini dia sering diganggu. Lebaran tahun ini dia akan
berhenti bekerja. Itu yang kubaca dari suratnya. Aku senang mengetahui
itu dan selalu menunggu hingga masa itu tiba.
Kamila bilang, aku jangan pernah lupa salat dan kalau kondisiku sedang
baik usahakan untuk salat tahajjud. Tak perlu memaksakan untuk puasa
sunnah yang pasti setiap bulan Ramadhan aku harus berusaha sebisa mungkin
untuk kuat hingga beduk manghrib berbunyi. Kini anakku lebih pandai
menasihati daripada aku. Dan aku bangga.

3 tahun 6 bulan yang lalu,

Inikah badai? Aku mendapat surat dari kepolisian pemerintahan Malaysia,
kabarnya anakku ditahan. Dan dia diancam hukuman mati, karena dia
terbukti membunuh suami majikannya. Sesak dadaku mendapat kabar ini. Aku
menangis, aku tak percaya. Kamilaku yang lemah lembut tak mungkin
membunuh. Lagipula kenapa dia harus membunuh. Aku meminta bantuan hukum
dari Indonesia untuk menyelamatkan anakku dari maut. Hampir setahun aku
gelisah menunggu kasus anakku selesai. Tenaga tuaku terkuras dan
airmataku habis. Aku hanya bisa memohon agar anakku tidak dihukum mati
andai dia memang bersalah.

2 tahun 6 bulan yang lalu,

Akhirnya putusan itu jatuh juga, anakku terbukti bersalah. Dan dia harus
menjalani hukuman gantung sebagai balasannya. Aku tidak bisa apa-apa
selain menangis sejadinya. Andai aku tak izinkan dia pergi apakah
nasibnya tak akan seburuk ini? Andai aku tak belikan ia bola apakah
keadaanku pasti lebih baik? Aku kini benar-benar sendiri. wahai Allah
kuatkan aku. Atas permintaan anakku aku dijemput terbang ke Malaysia.
Anakku ingin aku ada di sisinya di saat terakhirnya. Lihatlah, dia kurus
sekali. Dua matanya sembab dan bengkak. Ingin rasanya aku
berlari tapi apa daya kakiku tak ada. Aku masuk ke dalam ruangan
pertemuan itu, dia berhambur ke arahku, memelukku erat, seakan tak ingin
melepaskan aku. "Bapak, Iya Takut!" aku memeluknya lebih erat lagi.
Andai bisa ditukar, aku ingin menggantikannya. "Kenapa, Ya, kenapa kamu
membunuhnya sayang?" "Lelaki tua itu ingin Iya tidur dengannya, Pak.
Iya tidak mau. Iya dipukulnya. Iya takut, Iya dorong dan dia jatuh dari
jendela kamar. Dan dia mati. Iya tidak salah kan, Pak!" Aku perih
mendengar itu. Aku iba dengan nasib anakku. Masa mudanya hilang begitu
saja. Tapi aku bisa apa, istri keempat lelaki tua itu menuntut agar
anakku dihukum mati. Dia kaya dan lelaki itu juga orang terhormat. Aku
sudah berusaha untuk memohon keringanan bagi anakku, tapi menemuiku pun ia
tidak mau. Sia-sia aku tinggal di Malaysia selama enam bulan untuk memohon
hukuman pada wanita itu.

2 tahun yang lalu,

Hari ini, anakku akan dihukum gantung. Dan wanita itu akan hadir
melihatnya. Aku mendengar dari petugas jika dia sudah datang dan ada di
belakangku. Tapi aku tak ingin melihatnya. Aku melihat isyarat tangan
dari hakim di sana. Petugas itu membuka papan yang diinjak anakku. Dan
'blass" Kamilaku kini tergantung. Aku tak bisa lagi menangis. Setelah
yakin sudah mati, jenazah anakku diturunkan mereka, aku mendengar langkah
kaki menuju jenazah anakku. Dia menyibak kain penutupnya dan tersenyum
sinis. Aku mendongakkan kepalaku, dan dengan mataku yang samar oleh air
mata aku melihat garis wajah yang kukenal. "Kania?" "Mas Har, kau . !"

"Kau ... kau bunuh anakmu sendiri, Kania!"

"Iya? Dia..dia . Iya?" serunya getir
menunjuk jenazah anakku.

"Ya, dia Iya kita. Iya yang ingin jadi pemain bola jika sudah besar."

"Tidak ... tidaaak ... " Kania berlari ke arah jenazah anakku.
Diguncang tubuh kaku itu sambil menjerit histeris. Seorang petugas
menghampiri Kania dan memberikan secarik kertas yang tergenggam di
tangannya waktu dia diturunkan dari tiang gantungan. Bunyinya "Terima
kasih Mama." Aku baru sadar, kalau dari dulu Kamila sudah tahu wanita itu
ibunya.

Setahun lalu,

Sejak saat itu istriku gila. Tapi apakah dia masih istriku. Yang aku
tahu, aku belum pernah menceraikannya. Terakhir kudengar kabarnya dia
mati bunuh diri. Dia ingin dikuburkan di samping kuburan anakku, Kamila.
Kata pembantu yang mengantarkan jenazahnya padaku, dia sering berteriak,
"Iya sayaaang, apalagi yang pecah, Nak." Kamu tahu Kania, kali ini
yangpecah adalah hatiku. Mungkin orang tua kita memang benar, tak seharusnya
kita menikah. Agar tak ada kesengsaraan untuk Kamila anak kita. Benarkah
begitu Iya sayang?..



Posted By:Zulfah  Eva

Kita ..... maksudnya saya manusia pendosa.. hanya karna Rahmat-Nya ... masih bisa dan di anggap layak berpijak di bumi...
terima kasih ... ustajah Eva sudah  kasih nasehat... semoga hatiku bukan hati yg mati... sehingga bs menerima hikmah dari semua kejadian..
Seingatku cerita ini pernah di filmkan.. ada banyak makna yang terkandung dan kita bisa belajar dari cerita ini. 
salam ukhuwah bwat saudaraku semua....